Tradisikuliner.com – Di antara ragam kuliner khas Indonesia yang kaya rasa dan cerita, Kaledo mungkin belum sepopuler soto atau rendang. Namun, bagi masyarakat Sulawesi Tengah, khususnya di Kabupaten Donggala dan sekitarnya, hidangan legendaris yang menyimpan nilai budaya, sejarah, dan kelezatan luar biasa. Kuliner ini bukan hanya makanan, tapi juga identitas daerah yang membanggakan.
Asal Usul Nama “Kaledo”
Nama “Kaledo” merupakan singkatan dari “Kaki Lembu Donggala.” Ini merujuk langsung pada bahan utama sup ini: kaki sapi (lembu) yang dimasak dengan bumbu khas dan teknik tradisional masyarakat Donggala.

Cita Rasa yang Tak Terlupakan
Sekilas, Kaledo mirip dengan sop buntut atau gulai kaki sapi dari daerah lain. Namun, perbedaannya terletak pada kuah bening asam-pedas yang sangat menyegarkan. Rasa asam biasanya didapat dari asam jawa atau belimbing wuluh, sedangkan sensasi pedasnya berasal dari cabai rawit yang dimasukkan utuh.
Satu porsi biasanya berisi potongan besar tulang kaki sapi lengkap dengan sumsum di dalamnya. Inilah bagian paling dicari! Banyak penikmat yang membawa sedotan khusus hanya untuk menghisap sumsum dari tulang-tulang besar tersebut. Kuahnya yang gurih, segar, dan sedikit berlemak menciptakan sensasi rasa yang unik — kombinasi antara masakan pedesaan dan kelezatan khas tropis.
Proses Memasak yang Tradisional
Rahasia utama kelezatan terletak pada lamanya proses perebusan kaki sapi, yang bisa memakan waktu hingga 6 jam. Ini bertujuan untuk melunakkan bagian otot dan urat, sekaligus menghasilkan kaldu yang kaya rasa. Tidak banyak bumbu yang digunakan, tapi justru itulah kekuatannya. Kaledo mengandalkan kesegaran bahan, teknik memasak sabar, dan takaran bumbu yang tepat.
Biasanya, bumbu hanya terdiri dari:
- Bawang putih
- Garam
- Cabai rawit
- Asam jawa/belimbing wuluh
- Daun jeruk (opsional)
Karena kesederhanaan inilah, cita rasa daging dan kaldu benar-benar mendominasi, memberikan pengalaman makan yang alami dan memuaskan.
Cara Menikmati Kaledo yang Benar
Ada dua cara menikmati: dengan nasi putih hangat atau ubi rebus (singkong). Di daerah asalnya, masyarakat lebih suka makan Kaledo dengan ubi rebus karena menyerap kuahnya dengan baik dan tidak terlalu berat. Namun bagi yang ingin sensasi kenyang maksimal, nasi adalah pilihan yang tak kalah enak.
Satu hal yang unik adalah kebiasaan menghisap sumsum dari tulangnya. Tidak jarang, restoran di Palu dan Donggala menyediakan sedotan logam untuk membantu pengunjung menikmati sumsum dengan lebih mudah.

Kaledo dalam Budaya Masyarakat Donggala
Lebih dari sekadar makanan, Kaledo adalah warisan budaya. Ia disajikan dalam acara syukuran, upacara adat, hingga perayaan keagamaan. Bahkan, di beberapa daerah, kemampuan memasak Kaledo dianggap sebagai tanda kematangan seorang perempuan dalam rumah tangga. Kehadirannya tidak hanya memperkenalkan rasa lokal, tetapi juga membuka cerita tentang komunitas, tradisi, dan kearifan lokal masyarakat Donggala.
Potensi Kaledo di Kancah Nasional
Saat ini, masih jarang ditemukan di luar Sulawesi Tengah. Namun, dengan meningkatnya minat terhadap kuliner otentik nusantara, Kaledo memiliki potensi besar untuk menjadi makanan ikonik nasional. UMKM kuliner setempat bahkan mulai memproduksi dalam kemasan, siap dikirim ke berbagai kota besar di Indonesia.
Untuk para pencinta kuliner yang ingin merasakan sensasi berbeda, Kaledo menawarkan pengalaman makan yang unik: menyatu dengan rasa alami, menggugah selera, dan memperkenalkan budaya lokal secara langsung melalui semangkuk sup.
Kesimpulan
Kaledo bukan hanya tentang daging dan tulang — ia adalah cerita tentang Donggala, tentang kesabaran dalam memasak, dan tentang kecintaan pada cita rasa asli. Jika Anda sedang merencanakan kunjungan ke Sulawesi Tengah, pastikan Kaledo ada dalam daftar wisata kuliner Anda. Rasanya akan membuat Anda ingin kembali — bukan hanya untuk makan, tetapi untuk merasakan hangatnya budaya yang tertuang dalam tiap sendok kuahnya.