Tradisikuliner.com – Ketika senja mulai turun dan aroma kelapa parut berpadu dengan manisnya gula merah menyeruak di udara, hanya satu jajanan yang langsung terbayang di benak masyarakat Sunda — Colenak. Kudapan sederhana berbahan dasar peuyeum (tape singkong) ini bukan hanya sekadar camilan, tapi juga bagian dari kenangan masa kecil dan hangatnya suasana pedesaan Jawa Barat.
Nama “Colenak” sendiri punya makna yang unik. Dalam bahasa Sunda, “colenak” berasal dari gabungan kata dicocol enak — yang berarti “nikmat ketika dicocol”. Nama ini menggambarkan cara menikmatinya: tape bakar yang dicocol dengan saus gula merah dan parutan kelapa. Sederhana, tapi cita rasanya luar biasa menggoda.
Asal Usul Colenak: Dari Bandung untuk Nusantara
Colenak dipercaya pertama kali diperkenalkan sekitar tahun 1930-an oleh seorang pedagang di Bandung bernama Aki Darsa. Saat itu, tape singkong atau peuyeum sangat melimpah di Jawa Barat, terutama di daerah Cianjur dan Bandung. Untuk membuat peuyeum terasa lebih istimewa, Aki Darsa mencoba memanggangnya di atas bara dan menyajikannya dengan campuran gula merah dan kelapa parut.
Sejak itu, Colenak menjadi ikon jajanan tradisional Sunda yang populer di berbagai daerah. Bahkan, hingga kini masih mudah ditemukan di Bandung, terutama di kawasan Cihampelas, Lembang, dan Dago, yang menjadi surga kuliner khas Jawa Barat.
Cita Rasa Sederhana yang Penuh Kehangatan
Satu hal yang membuat Colenak istimewa adalah kesederhanaannya. Bahannya tidak rumit: peuyeum singkong, kelapa parut, dan gula merah.
Peuyeum yang dipanggang di atas bara api mengeluarkan aroma wangi khas singkong fermentasi, sedikit hangus di luar tapi lembut di dalam. Kelapa parut di atasnya menambah tekstur gurih dan kenyal, menciptakan harmoni rasa yang sempurna.
Makna Budaya di Balik Sepotong Colenak
Lebih dari sekadar jajanan, Colenak punya nilai budaya dan filosofi tersendiri. Dalam masyarakat Sunda, peuyeum sering dianggap sebagai simbol kesabaran dan keuletan. Proses fermentasi yang membutuhkan waktu mencerminkan bahwa hasil terbaik selalu datang dari ketekunan.
Colenak juga menjadi simbol kebersamaan. Proses memanggang peuyeum sambil bercengkerama menjadi momen hangat yang mempererat hubungan sosial. Tak heran, banyak orang yang mengenang Colenak sebagai makanan penuh kenangan masa kecil bersama keluarga di rumah.
Colenak di Era Modern: Dari Warung Tradisional ke Kafe Kekinian
Meski termasuk jajanan klasik, Colenak berhasil bertahan di tengah gempuran makanan modern. Di Bandung dan sekitarnya, beberapa kafe menghadirkan Colenak versi modern dengan tambahan topping seperti keju, cokelat, durian, hingga es krim. Ada pula Colenak mini berbentuk bulat kecil yang cocok untuk camilan praktis.
Inovasi ini membuktikan bahwa Colenak bukan sekadar kuliner nostalgia, tapi juga bagian dari identitas kuliner Jawa Barat yang adaptif dan relevan di zaman modern. Ia menunjukkan bahwa kelezatan sejati tak lekang oleh waktu — cukup sederhana, namun penuh makna.
Warisan Kuliner yang Perlu Dilestarikan
Colenak merupakan bagian penting dari kekayaan kuliner Nusantara. Di balik rasanya yang manis dan lembut, tersimpan filosofi kerja keras, kebersamaan, dan kecintaan terhadap bahan alami. Karena itu, penting bagi generasi muda untuk terus melestarikan dan memperkenalkan Colenak kepada dunia.
Banyak yang terpikat oleh kesederhanaannya dan cara pembuatannya yang tradisional. Melalui Colenak, dunia bisa melihat bagaimana budaya Sunda memandang makanan bukan hanya sebagai kebutuhan, tapi juga ekspresi cinta dan kebersamaan.
Penutup: Sepotong Kenangan dalam Setiap Gigitan
Colenak bukan sekadar camilan, tetapi potongan kenangan masa lalu yang hidup di setiap gigitan. Hangat, manis, dan penuh cerita — Colenak menggambarkan karakter masyarakat Sunda yang ramah, sederhana, dan penuh rasa syukur.
Di tengah modernisasi yang serba cepat, Colenak tetap menjadi pengingat bahwa cita rasa sejati tak selalu datang dari bahan mahal atau resep rumit. Terkadang, cukup dari peuyeum panggang dan gula merah cair, lahirlah kenikmatan yang bikin rindu setiap kali mencicipinya.