manday

Tradisikuliner.com Ketika berbicara tentang kuliner khas Kalimantan Selatan, banyak orang mungkin langsung teringat dengan Soto Banjar atau Ketupat Kandangan. Namun, ada satu hidangan tradisional unik yang menjadi kebanggaan masyarakat Banjar karena keistimewaannya yang tak dimiliki daerah lain, yaitu Manday.

Asal Usul Manday: Dari Kreativitas hingga Tradisi Leluhur

Manday lahir dari tradisi masyarakat Banjar yang terkenal hemat dan kreatif dalam memanfaatkan bahan makanan. Ketika musim cempedak tiba, buah ini melimpah ruah hingga kulitnya pun sering terbuang percuma. Dari kebiasaan itulah muncul ide untuk mengolah kulit cempedak menjadi makanan awet dan bergizi melalui proses fermentasi alami.

Proses Fermentasi Kulit Cempedak: Dari Limbah Jadi Lezat

Pembuatan Manday membutuhkan ketelatenan dan pemahaman terhadap proses fermentasi alami.

Berikut proses tradisional pembuatan Manday:

  1. Persiapan bahan – Kulit cempedak dibersihkan dan dipotong-potong kecil, kemudian direbus hingga agak lunak.
  2. Pemberian garam – Setelah dingin, kulit yang sudah direbus dicampur dengan garam secukupnya. Garam berfungsi sebagai pengawet alami sekaligus membantu proses fermentasi.
  3. Fermentasi alami – Campuran ini kemudian disimpan dalam wadah tertutup, biasanya kendi atau toples, selama beberapa hari hingga berminggu-minggu.
  4. Pengolahan lanjut – Manday yang sudah matang bisa digoreng, dimasak sambal, atau dijadikan lauk pendamping nasi.

Proses sederhana ini menunjukkan bagaimana masyarakat Banjar mempraktikkan teknik pengawetan alami tanpa bahan kimia—warisan kuliner yang ramah lingkungan dan kaya nilai tradisi.

Cita Rasa dan Aroma yang Khas

Ciri khas Manday terletak pada aroma fermentasinya yang kuat dan rasa kompleksnya. Teksturnya kenyal lembut di dalam, renyah di luar, dengan rasa yang asam-gurih seimbang. Sebagian orang menyukai karena rasa uniknya yang “berkarakter.”

Dengan kandungan serat tinggi dari kulit cempedak serta proses fermentasi alami, Manday tidak hanya lezat tetapi juga menyehatkan pencernaan.

Makna Budaya dan Filosofi di Baliknya

Bagi masyarakat Banjar, Manday bukan sekadar makanan, tetapi juga simbol kebijaksanaan dan ketahanan hidup. Filosofi ini sejalan dengan prinsip hidup orang Banjar: “Handak hidup bijak, manfaatkan apa yang ada.”

Manday juga menjadi identitas kuliner yang memperkuat jati diri masyarakat Kalimantan Selatan.

Manday di Era Modern: Antara Tradisi dan Inovasi

Meski terkesan tradisional, Manday kini mulai mendapat perhatian dari kalangan muda dan pelaku kuliner kreatif. Beberapa restoran di Banjarmasin dan Martapura sudah mulai menyajikan dalam bentuk modern, seperti sambal kemasan, Manday goreng renyah, hingga nasi goreng Manday.

Pemerintah daerah pun mulai mempromosikan Manday sebagai produk kuliner khas Banjar yang potensial menjadi oleh-oleh ikonik dari Kalimantan Selatan.

Kesimpulan: Manday, Cita Rasa dari Kearifan Lokal

Manday adalah bukti nyata bahwa kuliner tradisional Indonesia lahir dari kreativitas dan kearifan dalam memanfaatkan alam. Dari kulit cempedak yang sederhana, masyarakat Banjar berhasil menciptakan hidangan dengan cita rasa unik, aroma khas, dan nilai budaya tinggi.

Lebih dari sekadar makanan, Manday adalah simbol ketekunan, kesederhanaan, dan rasa hormat terhadap warisan leluhur. Di tengah gempuran makanan modern tetap bertahan sebagai kuliner otentik Banjar yang membangkitkan rasa bangga dan nostalgia.

Satu hal pasti: sekali mencicipi Anda tidak hanya merasakan lezatnya fermentasi alami, tetapi juga sepotong kisah budaya Banjar yang kaya akan makna dan tradisi.

By kuliner

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *