Tradisikuliner.com – Kalimantan Selatan punya harta kuliner manis yang sering membuat orang terpikat sejak gigitan pertama: Wadai Rangai. Jajanan tradisional Banjar ini memiliki tekstur kenyal, rasa lembut, dan aroma gula aren yang khas. Meskipun tampil sederhana, Wadai Rangai menyimpan filosofi tradisi dan kekayaan rasa yang mampu menjadi identitas kuliner Banjar di tengah gempuran camilan modern.
Kenapa Disebut Wadai Rangai?
“Wadai” dalam bahasa Banjar berarti kue. Sedangkan “Rangai” merujuk pada proses pembuatan dan bentuk kuenya. Di masa silam, Wadai Rangai adalah bagian dari 41 jenis Wadai Banjar yang biasanya disajikan dalam event adat, pesta keluarga, hingga acara keagamaan seperti haul, maulid, dan peringatan hari besar Islam.
Kue ini bukan sekadar camilan pasar. Ia adalah bukti nyata bahwa masyarakat Banjar sejak dulu sudah mengenal teknik pengolahan tepung sagu dan gula aren menjadi makanan premium untuk menjamu tamu.
Bahan Dasar Sederhana yang Kaya Rasa
Wadai Rangai hanya terbuat dari beberapa bahan utama: tepung sagu, santan kelapa, gula aren, dan sedikit garam. Namun, sentuhan tangan tradisional masyarakat Banjar mampu mengubah empat bahan ini menjadi sebuah sajian yang unik dan berkarakter.
Di Kalimantan Selatan banyak pengrajin gula aren lokal yang memproduksi gula dengan cara tradisional. Gula ini memiliki aroma khas yang lebih kuat, rasa karamel yang lebih dalam, dan warna cokelat yang lebih pekat. Saat gula ini meleleh dan menyerap ke dalam adonan sagu, terciptalah perpaduan rasa manis natural yang lembut tidak menusuk, namun meninggalkan sensasi hangat di tenggorokan.
Teknik Memasak Tradisional
Proses pembuatan Wadai Rangai tidak bisa tergesa-gesa. Adonan sagu yang dicampur santan harus diaduk rata. Lalu, adonan ini dimasukkan ke dalam cetakan kecil berbentuk bulat. Kue kemudian dikukus hingga matang.
Cirinya: bagian luarnya kenyal, bagian dalamnya lembut, dan ketika dibelah, aroma gula aren keluar bersama uap hangat. Inilah yang sering membuat orang ketagihan saat menikmatinya dengan teh panas atau kopi hitam.
Di beberapa daerah, ada yang menambahkan daun pandan dalam kukusan untuk menambah aroma alami. Meski kini banyak yang membuatnya dengan alat modern, cita rasa Wadai Rangai tetap tak tergantikan terutama kalau menggunakan santan segar dan gula aren asli Banjar.
Filosofi dalam Satu Gigitan
Masyarakat Banjar percaya bahwa makanan manis adalah simbol resepsi hangat untuk tamu. Bagi mereka, menyuguhkan jajanan manis adalah cara untuk menyampaikan rasa hormat, syukur, dan niat baik. Wadai Rangai menjadi bagian dari ritual sosial tersebut. Bukan kebetulan jika kue ini hadir di berbagai acara besar Banjar.
Teksturnya yang kenyal menggambarkan kekokohan dan keteguhan tekad. Rasa manisnya melambangkan kehangatan hati dan kebaikan.
Wadai Rangai di Era Modern
Meski zaman berubah, minat terhadap jajanan tradisional seperti Wadai Rangai tidak menurun. Banyak penjual di pasar tradisional Banjarmasin, Martapura, Hulu Sungai, hingga Banjarbaru yang masih menjualnya setiap hari. Bahkan kini mulai banyak usaha UMKM yang menjual Wadai Rangai versi kemasan cocok untuk oleh-oleh.
Beberapa inovasi pun mulai bermunculan. Ada yang menambahkan topping kelapa parut, ada yang mengganti gula aren dengan gula semut organik, ada pula yang memberikan aksen rasa vanila atau durian. Namun, banyak pemburu kuliner tetap lebih suka versi autentik: sederhana, kenyal, dan harum gula aren.
Penutup: Wadai Rangai Layak Jadi Ikon Manis Banjar
Wadai Rangai adalah bukti bahwa makanan tradisional Indonesia punya kekuatan rasa dan identitas yang sangat kuat. Dalam satu gigitan kecil, kita bisa merasakan kombinasi manis gula aren alami dan kelembutan sagu yang berpadu harmonis.
Mungkin inilah alasan kenapa Wadai Rangai tidak pernah kehilangan peminat.
Dan selama masih ada orang yang setia membuatnya dengan resep asli, Wadai Rangai akan tetap menjadi primadona di setiap meja tamu, acara adat, hingga festival kuliner bukan hanya di Kalimantan Selatan, tapi di seluruh Nusantara.
