Fenomena Warga China Kini Makan Ulat, Rasanya yang Mirip Kacang Almond sedang menarik perhatian dunia. Di tengah meningkatnya kesadaran akan keberlanjutan pangan dan krisis sumber protein global, tren baru ini muncul sebagai solusi unik sekaligus kontroversial. Tidak hanya karena keanehannya di mata masyarakat Barat, tetapi juga karena bagaimana masyarakat Tiongkok mengubah ulat menjadi santapan lezat yang bernilai gizi tinggi dan ramah lingkungan.

Mengapa Ulat Jadi Tren di Meja Makan China?
Beberapa tahun terakhir, pemerintah China mulai mendorong sumber protein alternatif untuk mengurangi ketergantungan terhadap daging sapi dan babi. Ulat, terutama larva ulat sutra (silkworm pupae) dan mealworm, menjadi kandidat utama. Alasannya sederhana: mereka tumbuh cepat, kaya protein, dan membutuhkan sedikit sumber daya.
Selain itu, dengan populasi China yang mencapai lebih dari 1,4 miliar jiwa, kebutuhan akan bahan makanan yang efisien dan berkelanjutan semakin mendesak. Maka tak heran jika banyak restoran di kota besar seperti Beijing, Shanghai, dan Guangzhou kini mulai bereksperimen dengan menu berbahan dasar ulat.
Rasa Ulat yang Mengejutkan: Seperti Kacang Almond
Menurut banyak warga yang telah mencobanya, ulat memiliki rasa gurih dan sedikit manis, dengan tekstur yang lembut di dalam namun renyah di luar ketika digoreng. Beberapa bahkan menyebut rasanya mirip kacang almond atau campuran antara edamame dan ayam muda.
Chef Liu Zheng, seorang koki di Chengdu, mengatakan bahwa “Rasa ulat tidak aneh seperti yang orang bayangkan. Kalau dimasak dengan benar, aromanya malah menggugah selera.” Banyak restoran menggunakan saus pedas Sichuan, kecap asin, atau bubuk lada lima rasa untuk memperkaya cita rasa.
Tradisi yang Diangkat Kembali dari Masa Lalu
Meski terdengar baru, sebenarnya kebiasaan makan ulat sudah ada sejak ribuan tahun lalu di beberapa daerah pedesaan di China. Catatan kuno dari zaman Dinasti Tang menyebutkan bahwa larva ulat sutra sering dijadikan lauk berprotein tinggi oleh para petani.
Kini, tren tersebut kembali naik daun, namun dalam bentuk modern.
Kandungan Gizi Ulat yang Mengejutkan
Satu porsi kecil ulat kering (sekitar 100 gram) mengandung lebih dari 50% protein, lemak sehat, serta asam amino esensial. Tidak hanya itu, ulat juga kaya akan zat besi, magnesium, dan vitamin B12, menjadikannya sumber nutrisi ideal untuk diet tinggi protein.
Beberapa penelitian ilmiah dari Beijing Agricultural University menunjukkan bahwa kandungan protein ulat hampir dua kali lipat dari daging sapi, sementara jejak karbonnya jauh lebih kecil.
Reaksi Masyarakat: Antara Rasa Penasaran dan Jijik
Seperti halnya tren kuliner baru, tidak semua orang langsung bisa menerima. Sebagian warga, terutama generasi muda di kota besar, melihat ulat sebagai makanan futuristik yang keren dan berani. Mereka rela antre di kafe atau restoran yang menjual camilan ulat goreng dengan harga premium.
Namun, masih banyak juga yang merasa ragu atau jijik. “Saya tahu itu sehat, tapi saya belum siap melihat ulat di piring makan saya,” ujar seorang mahasiswa di Shanghai. Meski demikian, lambat laun rasa penasaran mendorong lebih banyak orang mencoba.
Inovasi Kuliner: Dari Ulat Goreng Hingga Smoothie Protein
Tak hanya digoreng atau dipanggang, ulat kini juga diolah menjadi bubuk protein untuk campuran smoothie, roti, hingga energy bar. Produk-produk ini banyak dijual di platform daring seperti Taobao dan JD.com, dan mulai populer di kalangan atlet serta pecinta kebugaran.
Bahkan beberapa startup kuliner di China telah meluncurkan merek makanan berbasis serangga, meniru tren yang lebih dulu berkembang di Eropa dan Amerika.
Dampak Lingkungan: Lebih Hijau dari Peternakan Konvensional
Salah satu alasan kuat mengapa pemerintah China mendukung konsumsi ulat adalah faktor lingkungan. Peternakan ulat menghasilkan emisi karbon yang sangat rendah, tidak memerlukan lahan luas, dan dapat tumbuh di ruang tertutup.
Menurut data dari China’s Green Food Development Center, produksi 1 kg protein dari ulat hanya membutuhkan 10% air dan pakan dibandingkan sapi. Ini menjadikan ulat sebagai bagian penting dalam strategi ketahanan pangan berkelanjutan di masa depan.
Perbandingan: Ulat vs Daging Tradisional
| Jenis Makanan | Protein per 100g | Emisi Karbon | Air yang Diperlukan | Nilai Gizi |
|---|---|---|---|---|
| Ulat Sutra | 53g | Rendah | Sangat sedikit | Tinggi |
| Daging Sapi | 26g | Sangat tinggi | Banyak | Sedang |
| Daging Ayam | 31g | Sedang | Sedang | Tinggi |
Dari tabel di atas, terlihat jelas bahwa ulat jauh lebih efisien baik dari segi energi maupun nutrisi. Tak heran jika banyak ahli memperkirakan masa depan protein manusia akan bergantung pada serangga, termasuk ulat.
Tantangan dan Persepsi Global
Meski China sudah lebih terbuka, dunia Barat masih perlu waktu untuk menerima ide ini. Banyak yang menganggap konsumsi ulat “ekstrem” atau bahkan “menjijikkan”. Namun, seiring dengan meningkatnya kesadaran akan krisis pangan global, narasi tentang “insect-based food” mulai berubah.
Bahkan organisasi seperti FAO (Food and Agriculture Organization) telah merekomendasikan konsumsi serangga sebagai alternatif protein masa depan.
Mungkinkah Tren Ini Menyebar ke Negara Lain?
Melihat antusiasme di China, besar kemungkinan tren ini akan menular ke negara Asia lain seperti Thailand, Vietnam, dan Indonesia, yang sebenarnya juga memiliki tradisi memakan serangga.
Di Indonesia misalnya, beberapa daerah sudah mengenal belalang goreng, walang, atau sagu grubs, jadi mungkin ulat bukan hal yang benar-benar asing.
Penutup: Ulat, Simbol Revolusi Kuliner Masa Depan
Fenomena Warga China Kini Makan Ulat, Rasanya yang Mirip Kacang Almond bukan sekadar tren aneh yang lewat begitu saja. Ia menandai pergeseran besar dalam cara manusia memandang makanan dan keberlanjutan.
Siapa tahu, beberapa tahun ke depan, snack ulat panggang rasa bawang putih atau bubuk protein ulat justru jadi camilan favorit kita semua. Karena pada akhirnya, ketika bumi semakin sesak dan sumber daya menipis, apa yang kini kita anggap aneh bisa jadi penyelamat masa depan.
